Tuesday, March 20, 2018

[Sebuah Cerita Pendek]: Surat Untuk Ibu








Kutujukkan surat ini kepada ibu. Ia seperti tanda bisul kering di pahaku, meninggalkan ruam besar yang hitam. Ibu, ingatkah kau, aku pernah bertanya mengapa anak gemas berkulit madu dan berambut sarang lebah sepertiku hampir selalu bisulan? Katamu, aku terlalu banyak makan telur dan kecap. Kau lalu menunjukkan bekas bisul di pahamu, itu bukan karena telur, Nak! namun karena kulit kita sama. Kau lalu membopongku ke kamar mandi, karena aku merajuk minta pipis. Aku lalu menujuk pada lubang di kemaluanku, dan bertanya, kenapa ada lubang di sana? Kau lalu menjawab, itu untuk merasakan asmara, Nak, tapi kau masih terlalu kecil. Tunggu jika kau sudah besar sedikit. Kau menuntunku ke kamar, di sana kita naik ke tempat tidur yang sudah kau kebas, memandang ke langit-langit kamar yang berawan. Kulihat sebuah bulan menggantung dengan nyalang, seperti mata seorang pejuang, kukatakan, ibu, kenapa bulan tidak tidur? Kau katakan, ia masih mendongeng kepada anak perempuannya.

Kali ini kupalingkan muka ke tembok yang terkelupas. Di tembok itu menggantung sebuah peta dengan pulau-pulau bergaris hijau dan kuning, bagian di sekitar pulau berwarna biru muda disertai nama-nama pulau yang berwarna merah tua. Aku bertanya lagi, ibu bolehkah aku berpetualang ke pulau-pulau itu ketika aku dewasa nanti? Kau menjawab, tentu saja, Nak, kaki dan langkah-langkahmu adalah punyamu, aku tak punya hak untuk mengatur ke mana mereka harus pergi. Kepalaku meliuk masuk ke bawah ketiakmu yang hangat dan mencium bau susu, aku menjulurkan lidahku kepada putingmu dan mulai menghisap. Aku bertanya, ibu kenapa kau tak lelah berbagi? Kau menjawab, Nak, setiap manusia, perempuan atau lelaki, selama masih bernafas mesti saling bagi. Kau mengurai rambutmu yang gerimis dan tajam kena mata. Dan berbisik padaku pelan, Nak, sebelum kau bertanya, aku mau menceritakan kepadamu tentang perpisahan. Kau tahu, Nak, aku selalu sedih karena harus meninggalkanmu bersama dua kakakmu sendirian. Pada kapal dan perjalananku yang berombak, aku selalu menangis diam-diam. Tapi, Nak, jauh sebelum kau lahir, aku sudah lebih dulu belajar untuk melepaskanmu. Bukan hanya berpisah dengan tubuhku, melainkan juga berpisah dengan cita-citaku untukmu. Karena kau punya jalan sendiri.

Aku kini sudah punya jalan sendiri, ibu. Terima kasih, karena darimu aku belajar memahami banyak hal-hal sulit dan mendapat pengertian darinya. Terima kasih, karena selama kau hidup, kau tak putus asa menghadapi aku, yang begitu keras kepala. Selamat hari kematian yang keempat, ibu.

*untuk ibuku. Hari ini, 20 Maret 2018, adalah tahun keempat kematiannya. Dan besok, 21 Maret, adalah hari kelahirannya.    

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...