Thursday, July 27, 2017

SOLD OUT




gambar via google.





Lucu, ketika suatu hari saya sedang melihat foto-foto pernikahan, dan mendapati sebuah potret pengantin perempuan dengan tulisan SOLD OUT di bagian bawahnya. Pertama, kesan yang ada di kepala saya ketika memperhatikan potret itu adalah perempuan itu seperti barang yang yang sudah laku di toko atau web online. Biasanya ketika barang yang dipajang sudah laku, akan ada tulisan SOLD OUT di bagian bawahnya. Kedua, kira-kira apa yang ada di dalam benak perempuan itu, barangkali saja benar, ia setuju melakukannya karena ia merasa dirinya—sejenis 'barang jualan' yang telah laku dijual kepada seorang pemilik. Dan ketiga, jika itu adalah strategi pemasaran fotografer; maka konsep perempuan di situ, jelas disamakan dengan barang jualan. Suatu kenyataan yang menyedihkan.

Dalam Second Sex, Simone de Beauvoir menulis begini, "Sejak zaman primitif hingga sekarang, persetubuhan sudah dianggap sebagai 'pelayanan' di mana sebagai tanda terima kasih, laki-laki memberi perempuan berbagai hadiah untuk menjamin kelangsungan hidupnya; tetapi 'melayani' berarti memberikan dirinya kepada seorang 'majikan'; tidak ada kesetaraan dalam hubungan ini. Sifat perkawinan itu sendiri, seperti halnya prostitusi, merupakan bukti bahwa perempuan memberikan dirinya, laki-laki membayarnya, lalu mengambilnya."

Maka sebuah penaklukan terjadi di sini. Kata SOLD OUT yang terpampang di dalam potret tersebut, dengan seorang pengantin perempuan yang mengembangkan senyum lebar di wajahnya adalah sebuah isyarat kebanggaan bahwa ia kini telah laku terjual kepada pemiliknya. Yang lebih mengenaskan lagi bahwa potret pengantin perempuan seperti itu dijumpai di dalam kultur masyarakat yang beradab—yang di dalam asumsi saya adalah mereka yang berpendidikan tinggi. Dan menurut saya lagi, sampai kapanpun perempuan bukan barang dagangan yang ditempelkan rupiahnya; ia tidak melelang dirinya untuk bertemu dengan pemilik yang akan membawa pulang dirinya, selamanya ia berhak untuk memiliki dirinya; utuh.

Friday, July 14, 2017

Menjadi Anonimus





Ada sebuah cerita yang saya temukan, intinya tulisan tersebut menceritakan tentang seorang perempuan yang membuat sebuah akun anonimus agar ia dapat berinteraksi dengan ‘apa adanya’ kepada orang lain yang juga ada di dalam lingkaran media sosial itu, alasan perempuan itu sederhana saja, jika ia menggunakan identitas aslinya dalam berinteraksi, maka ia takut mendapat respon yang tidak ia harapkan yaitu: diadili. Karena pada dunia nyata, perempuan ini dikenal sebagai perempuan yang cukup relijius—paling tidak dari atribut yang ia pakai dan ini juga diceritakan dalam tulisan itu. Dan komunikasi yang terjadi antara perempuan anonimus ini adalah hal-hal yang bersifat vulgar yang sekali lagi tidak dapat ia lakukan dengan menunjukkan identitas aslinya.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah kamu pernah menjadi seorang anonimus dalam menggunakan media sosial? Atau apakah kamu pernah membuat akun anonimus dengan—tentu saja menggunakan identitas palsu untuk kepentigan pribadi misalnya, menyelidiki suami yang selingkuh. Cerita lainnya yang saya temukan yaitu seorang ibu rumah tangga yang membuat akun anonimus untuk menciduk suaminya sendiri yang tukang main perempuan.

Pertanyaan lainnya adalah apakah kamu pernah membuat akun anonimus untuk menjawab pertanyaan atau membela sebuah pernyataan yang dianggap benar—apalagi ini bertujuan untuk sebuah kepentingan kampanye politik. Akun anonimus ini diperlukan untuk melerai sebuah jawaban, pro atau kontra terhadap sebuah wacana, menghajar seseorang yang tidak disukai karena jawaban yang berkembang pada sebuah laman diskusi, atau kepentingan yang paling relevan saat ini adalah, mengadudomba satu dengan yang lainnya.

Seiring dengan perkembangan media sosial dan hestek berani yang kemudian merajalela seperti #showyourcleavage atau #freeyournipple maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah kamu pernah membuat akun anonimus untuk meramaikan hestek tadi? Karena cara untuk meramaikan hestek ini adalah dengan mengunggah sebuah foto belahan dada atau puting susu tanpa kelihatan wajah yang membutuhkan tekad yang besar. Menjadi anonimus membuat orang-orang lebih berani.

Beberapa skandal percakapan seks pribadi yang dilakukan oleh para tokoh agama juga terkuak oleh anonimus. Tentu saja pelaku anonimus di sini adalah mereka yang memiliki kepentingan terkait untuk mengungkap skandal tersebut.

Menjadi anonimus adalah sebuah kegemaran baru. Media sosial kemudian berkembang menjadi sebuah media di mana setiap orang dapat menjadi sesuatu di luar dirinya asalkan ia tetap anonimus. Setiap orang dapat melakukan sesuatu di luar dirinya asalkan ia tetap anonimus. Setiap orang lebih berani mengunggah apa saja asalkan ia tetap anonimus. Setiap orang dapat mengungkap kebenaran asalkan ia tetap anonimus.

Menurut sebuah penelitian yang ditulis di dalam We Are Anonymous-Anonimity in the public sphere, ada beberapa keuntungan dengan menjadi anonimus ketika berkomunikasi 1) mendorong kebebasan berekspresi, kemampuan untuk menyuarakan pendapat yang berbeda atau gagasan yang tidak populer dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai landasan demokrasi 2) memfasilitasi arus komunikasi mengenai isu publik tanpa membunuh si pembawa pesan 3) untuk mendapatkan informasi sensitif, misalnya dalam penelitian atau isu pribadi yang sensitif  4) anonimitas mendorong budaya berbagi gagasan, ada lebih banyak kejujuran dalam proses tanya jawab, misalnya dalam proses evaluasi di tempat kerja atau di kelas.

Sebuah cerita lainnya tentang seorang perempuan pernah mengaku mengungah foto vaginanya yang baru selesai di waxing, berikut dengan sedikit testimoni mengenai kepuasaannya menggunakan layanan salon yang melayaninya. Perempuan itu mengaku ia melakukannya untuk mendapatkan sebuah kepuasan tertentu, merasa lebih bebas, merasa lebih jujur.

Namun ada sebuah pengertian lainnya tentang menjadi anonimus—yaitu sebuah keberjarakan dengan diri sendiri: atau dapat dikatakan sebagai sebuah ketakutan untuk menampilkan sebuah kejujuran yang berasal dari diri karena takut diadili oleh masyarakat. Melainkan juga dapat dikatakan bahwa menjadi anonimus adalah sebuah tempat persembunyian—sebuah benteng yang dibangun cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri dari sebuah kebenaran.

Sebuah cerita menarik yang saya temukan dalam kasus menjadi anonimus, yaitu seorang pria gay yang kemudian bersembunyi di balik topeng “tokoh agama” dan “pernikahan” hanya karena pria ini tidak dapat menceritakan tentang dirinya yang sebenarnya. Barangkali pria ini juga tetap memilih menjadi anonimus di dalam berkomunikasi dengan kawan-kawan di komunitas gay-nya karena ia terlanjur ‘normal’ di kehidupan nyatanya.

Sebuah paradoks di dalam kehidupan.    


  



Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...