Thursday, December 30, 2010

Bangku Taman

weheartit


Saya ini adalah gadis yang sangat menggemari bangku taman. Saya suka duduk di sana berjam-jam menunggu dan menunggu. Saya suka duduk di sana sepanjang hari, lalu menjelang maghrib biasanya saya pulang.

Tapi besoknya saya ke sana lagi. Mengulangi hal yang sama, begitu terus setiap kali. Saya suka sekali berbicara dengan dahan-dahan. Lalu kadang berbisik-bisik dengan daun-daun kering. Atau tertawa dengan rumput-rumput basah.

Hm. Mungkin semacam berbagi rahasia. Ya, saya punya rahasia yang selama ini saya tutup rapat-rapat. Entahlah, saya hanya takut kalau rahasia saya ini terbongkar. Jadi saya memilih untuk mencintai bangku taman dan bercerita dengannya.

Mari saya perkenalkan bangku taman saya yang satu ini, kalau dilihat dari kejauhan ia memang sedikit rapuh. Kulitnya sudah mulai terkelupas. Warna catnya juga sudah memudar. Tapi saya menyukainya. Saya suka tampilannya yang tua.

Lalu saya mulai bercerita kepada bangku taman itu. Cerita-cerita kecil yang menyenangkan. Cerita tentang Husky dan Jacob, dua anjing lucu di kos. Atau cerita sepele yang– mungkin lebih baik tidak usah saya tulis di sini. Cerita-cerita menyenangkan yang selalu membuat saya senyum-senyum sekali. Tiap kali mengingatnya. Ah, lagi-lagi saya berganti. Tapi saya menikmatinya. Lalu saya akan bercerita tentangmu. Ya, kamu.

Mungkin kamu yang saya tunggu-tunggu. Mungkin karena wangimu yang selalu menggoda. Mungkin karena senyummu. Mungkin karena pengertianmu. Mungkin karena kamu yang tidak rusuh seperti saya. Mungkin karena kamu begitu terbalik. Begitulah saya, selalu menyukai sesuatu yang terbalik. 

"Kamu tahu kan, jalan ke taman itu. Main ke sini yuk. Supaya saya tidak sendiri lagi." 

Mungkin kamu yang sedang saya tunggu, untuk berbagi sore. Lalu kita di sana duduk di bangku taman – berciuman lama. 



Thursday, December 23, 2010

"Au Revoir"

(Silent Bells, Silver Night solemn christmas hymns, a christmas mixtape by dimas ario berisi 14 track dapat diunduh di sini)


Mendengarkan lagu-lagu yang ada di Christmas Mixtape-nya Dimas Ario, membawa saya duduk di dalam gerbong kereta yang gelap. Sementara di luar hujan rintik-rintik – butirnya sebagian jatuh di jendela. Sebagian lagi terjun dengan bebasnya ke dedaunan.

Kursi di dalam gerbong itu berwarna kecoklatan, ada beberapa kecoak yang bolak-balik di kaki saya. Selain itu ada semacam kumbang kecil—saya tidak tahu namanya apa, lalu lalang di lorong-lorong gerbong. Saya tidak bawa apa-apa, hanya ada semacam buku bacaan yang ada di pangkuan, setelah saya ingat lagi, itu adalah buku The Alphabet Sisters yang belum selesai saya baca.

Dari jendela kereta, sore semakin menua—hari mulai berganti kulit. Kereta, tiba-tiba berhenti di suatu tempat. Banyak laki-laki dan perempuan tua, mereka bergerombol masuk dan memenuhi gerbong saya. Setelan mereka vintage, hitam-hitam—lalu mulai berdansa, berpasang-pasangan.

Kulit mereka tampak pucat tapi tetap ada senyuman mengembang di pipi mereka. Sesekali mereka mengangkat sloki-sloki kecil berisi anggur tinggi-tinggi, lalu mengucapkan sesuatu keras-keras. Semacam mengucapkan “Au revoir”— ya, kata itu diucapkan keras-keras.

Lalu mereka tertawa-tawa kencang sekali.  Mendadak gerbong saya riuh sekali.

Tidak lama kemudian seorang perempuan tua, menghampiri saya dan menawari saya satu sloki anggur, lalu mengucapkan “selamat natal”. Saya membalasnya, mengucapkan terima kasih, lalu meneguk minuman  itu perlahan-lahan.

Ketika saya hendak bertanya, kenapa mereka mengucapkan "Au Revoir", perempuan itu telah pergi—lalu hilang.

Ah, bahkan saya lupa kalau malam ini adalah malam natal. Saya coba melongok keluar jendela, merasakan dinginnya angin malam di muka saya. Melihat ke langit, mencoba mencari bintang. Lalu saya menemukan hanya satu bintang, pelit sekali langit malam ini—pikir saya.

Tak apa, bisa jadi bintang itu semacam disuruh untuk menemani saya malam ini. Bunyi jeruji dan gesekan di rel terdengar semakin lama-semakin pelan. Kini, kereta saya tiba di suatu tempat. Saya turun, menoleh ke belakang— 
tidak ada lagi pesta kecil, tidak ada lagi gerombol orang tua yang berdansa tadi.

Gerbong kini kosong—sunyi. Sayup-sayup saya mendengar lonceng di kejauhan. 
Selamat hari natal, selamat tinggal gelap-- Au Revoir. 

Tuesday, December 21, 2010

It's Over Now

pic from here

(dapatkan juga informasi tentang Bonita di sini)  

Pada suatu masa, di suatu sore. Ketika saya sedang merasa kehilangan, saya mampir di sini.  Tobucil bagi saya adalah seperti rumah untuk menemukan sesuatu. Sesuatu itu mungkin adalah lagu—lagu yang kemudian mengisimu.

Teman saya Wikupedia, sedang menyetel sebuah lagu. Lebih tepatnya lagi sebuah Album yang begitu cantik dari Bonita. Kenapa saya bilang cantik, karena terus terang saya suka dengan cover albumnya—selanjutnya ada satu track lagu yang begitu menarik perhatian saya.

Lagu It’s over now.

Entah kenapa lagu ini langsung saya putar berulang-ulang ketika itu. Kini—beberapa bulan kemudian. Saya merasakan kehilangan yang sama. Kehilangan yang rasanya sengaja—saya sengaja menghilangkan sesuatu. Tapi, tidak mau juga diisi oleh yang lain.

Lalu saya teringat kembali akan lagu ini. Mendengarkan lagu ini kembali, seperti mengajak saya melepaskan sesuatu dengan kesenangan. Seperti membuat saya belajar menghilangkan sesuatu tanpa beban.

Mendengarkan lagu ini membawa saya ke pantai, mengenakan bikini oranye. Duduk dengan minuman berwarna saya di gelas tinggi. Selonjorkan kaki panjang-panjang, lalu menikmati semilir angin. Dengan topi lebar saya ujungnya terbang-terbang.

Mungkin topi saya juga bergembira, saya telah melepaskannya. Sementara di kejauhan ada gulungan ombak, tidak terlalu besar. Cukup untuk melihat lautan biru yang super luas—merasakan kedipan langit yang jernih. 

Ah lalu setelah menikmati minuman saya, ada es krim rum kesukaan saya yang kini saya habiskan. Saya menjilati es krimnya pelan-pelan—seakan tidak ada hari esok. Melepaskan, kehilangan—lalu tidak mau buru-buru diisi.

Mendengarkan lagu ini, ada perasaan leluasa seperti biru di kejauhan. Ada jernih seperti langit, perasaan saya bergelombang tinggi—ini adalah perasaan melepaskan yang menyenangkan. Saat ini kalaupun saya sedang merasakan kehilangan yang sama, lagu ini cukup menguatkan saya untuk melepaskan—lalu tersenyum.

Begitu saja, selamat melepaskan—kali ini saya melakukannya dengan senyuman. Nikmatilah bikini oranyemu hari ini.


Monday, December 20, 2010

Swing and Jingle

pic from here


(feel free to Download 'N Enjoy @leonardo_music New Christmas Single "Swing and Jingle" here)

Kadang kau ingin lari dari kesibukan di hari Senin, lalu pergi ke pesta dan berdansa. Mendengarkan lagu Leonardo membawa saya kesana. Seperti sedang ada di arena dansa. Saya dengan gaun backless sematakaki, lalu menari dengan kaki-kaki lincah mengikuti irama. Saya ada di bawah sorotan lampu-lampu warna, sendirian menggoyangkan badan tak peduli ada yang melihat.

Banyak orang yang berdiri di sekitar saya seperti mencibir, mereka ingin masuk ke dalam arena. Tapi terlalu terintimidasi dengan gerakan saya yang begitu lihai. Saya bahkan sampai lupa kalau ini adalah lagu Natal. Ah, Natal itu untuk siapa saja bukan?

Natal mungkin untuk saya. Untuk mereka. Untuk siapa saja yang mungkin tidak percaya kepada Natal. Terserah, yang penting saat ini saya tidak berhenti menghentakkan kaki. Yang penting saat ini saya tidak berhenti menggoyang-goyangkan kepala saya ke atas dan ke bawah.

Semangat di lagu ini seperti meloncat—menusuk batas antara agama dan bersenang-senang. Tidak ada kesenangan dalam agama. Oleh karena itu saya pilih untuk bersenang-senang saja. Ada kegembiraan—begitu panjang yang terdengar di lagu ini.

Saya merasa bebas untuk bergerak, saya merasa bebas untuk memilih, bahkan saya tidak terlalu peduli ketika gaun saya robek—waktu sedang menari. Biarkan saja, sesuatu yangg terlalu mengekang itu tidak baik—robek saja.

Tidak ada batas yang mengikat. Tidak ada tembok yang menjarak. Tidak ada benteng yang terlalu tinggi. Ketika mendengarkan lagu ini, yang ada di pikiran saya adalah berdansa dan berdansa. Berputar dan meloncat-loncat di arena—sendirian.

Sampai orang berpikir saya orang gila, tidak apa toh saya gembira. Bukankah Natal untuk semua?—lebih dari sekedar perayaan agama. Jadi berdansalah.




Mungkin sepi hanya perjalanan

didedikasikan kepada: Kembali Sepi – Buat Gadis Rasid, di sini

Ini bukan review. Ini hanya tulisan pendek yang coba saya buat kepada teman musisi favorit saya. Salah satunya adalah Galih Su atau yang biasanya kita kenal dengan nama Deugalih.

Mendengarkan lagu Galih adalah membawa saya kepada perjalanan. Menelusuri sungai panjang, hanya ada batu-batu besar, gemericik air, angin yang bertiup di muka.

Yang didengarkan adalah sepi. Lalu, saya duduk dengan kopi, kemudian mulai mendengarkan diri saya sendiri. Perjalanan panjang itu kemudian menghentikan saya kepada bongkahan yang ada di hati saya sendiri. Alih-alih hendak berjalan mendekat kepada bongkahan itu. 

Tapi saya terlalu takut. Saya tidak berani mendekat. Saya melihat ke arah kiri dan kanan, tidak ada siapa-siapa kok, kenapa musti takut. Tangan saya gemetar, ketika hendak menyentuh bongkahan di hati saya. Cukup keras—lalu kini saya melihat saya sudah membuka kertas pembungkusnya perlahan.

Bibir saya mulai bergetar. Mata saya basah—sedikit. Terus terang, saya agak malu kalau kedapatan menangis. Jadi saya buru-buru menghapus air mata saya sebelum mereka jatuh menyatu dengan aliran sungai. Larut lalu mengalir. Terseok-seok sedikit dengan batu-batu sungai tapi tetap mengalir.

Bongkahan itu kini terlihat. Saya melihatnya dengan jelas. Telinga saya mendengarnya dengan jernih. Tak ada pemisah lagi diantara saya dengannya. Pelan-pelan saya memeluk bongkahan itu, entah kenapa saya begitu pengecut meninggalkannya sendirian selama ini.

“Brengsek!”

Kata itu keluar perlahan dari bibir saya. Tiba-tiba saya sadar satu hal, bongkahan itu bukan benda asing—atau punya orang lain. Itu punya saya sendiri. Kemudian saya memeluknya erat. Lalu mulai menangis sekencang-kencangnya.

ooo tenang.. ujarmu tenanglah

Sepenggal lirik dari kembali sepi. Menguatkan saya. Begitu sejuk mengalir perlahan di pipi. Saya mulai memberanikan diri untuk berdiri, memasukkan kaki saya ke air sungai yang dingin. Dinginnya menerpa telapak kaki saya yang telanjang.

antara daun daun hijau, padang lapang dan terang
anak anak kecil tidak bersalah

Sepucuk lirik dari lagu Buat Gadis Rasid, mengangkat muka yang tertunduk untuk sedikit menghela nafas lalu menghirup udara. Kini saya biarkan memenuhi paru-paru saya, membelai sedikit bongkahan, yang masih ada—tidak lagi tersesat. Mungkin sepi hanya perjalanan. 

Kopi saya habis, saatnya saya pulang.

Tapi Pergilah

weheartit


Saya tidak suka ini. Ketika saya hendak bergerak maju, kau selalu datang. Saya sudah tidak terbiasa lagi dengan kedatanganmu. Saya hendak berpergian. Saya hendak menjelajah tempat baru. Saya hendak terbang tinggi ke tempat dimana kau tidak bisa menjangkau saya.

Lalu, kau memang tidak akan menjangkau saya. Kau tidak bisa. Bagi saya kau sudah mati. Bagi saya kau sudah tidak seru lagi untuk dibahas di hati dan juga di pikiran saya. Mau apa lagi sih? Terakhir kali kita bertemu, kau bilang kau kangen.

Ya, saya masih menjawabnya dengan: aku juga kangen.

Tapi tiba-tiba, segala sesuatu berubah. Betul? Kau buat saya sedih dengan keputusan-keputusanmu. Kau bersama—sudahlah. Saya menghargai. Saya menghormati segala sesuatunya. Saat ini saya punya sayap. Sayap saya satu, tapi saya ingin terbang.

Tolong, saya mohon! Jangan ganggu saya.

Berhentilah muncul di mimpi saya. Berhentilah menyayangi saya lewat mimpi. Berhentilah mencium saya lewat mimpi. Berhentilah menyentuh saya, walau hanya lewat mimpi. Saya ingin melupakanmu. Tempat tidur saya kini penuh, saya meletakkan banyak bantal, supaya tak ada sisa untuk –badanmu.

Begitu saja. Saya masih suka telanjang. Saya tahu persis, bagian mana dari tubuh saya yang—paling kau suka.

Tapi pergilah.

if you're lost you can look--and you will find me
time after time
if you fall I will catch you--I'll be waiting

I’m NOT waiting for you.

Sunday, December 19, 2010

Petrichor

weheartit

Petrichor itu wangi hujan pertama. Kalau kau mengaku jatuh cinta dengan hujan, maka kau pasti akan mengenalinya. Sebutlah itu adalah aroma hujan, yang bercampur dengan tanah. Atau kau bisa mengoogling sendiri, lalu temukan maknanya di sana.

Ketika saya menulis ini hujan memang sedang turun. Wangi petrichor kemudian menyeruak memasuki kamar saya. Satu hal yang biasanya saya lakukan ketika hujan adalah, membuka pintu dan jendela lebar-lebar, supaya saya bisa menatap mereka.

Ya, hanya menatap. Saya suka menatap mereka. Saya suka mendengarkan bunyi gemerincing mereka diantara genteng. Saya suka memejamkan mata saya untuk mendengarkan hujan lekat-lekat. Hal ini kemudian menimbulkan nada sendiri.

Lalu, saya mulai menulis. Menulis apapun yang saya suka.

Sebelum menulis ada satu kebiasaan yang sering sekali saya lakukan yaitu, bermain-main dengan pikiran saya. Ada hal yang kini cukup mengganggu saya, yaitu soal bertumbuh dan menjadi dewasa. Ada kesimpulan yang mendadak hadir di kepala saya.

Sempat saya tweet dengan hashtag #selintas: semakin tua semakin jaim. Semakin lupa tuk bermain-main.

Banyak orang ketika bertambah umur semakin jaim, mereka selalu mencoba untuk memberikan nasihat kepada orang lain. Dan sebisa mungkin kata-kata positif yang keluar dari mulut mereka.

Lalu, tiba-tiba saya mulai bosan dengan tubuh orang dewasa itu. Saya merasa orang dewasa itu terlalu banyak pakai topeng. Saya merasa menjadi orang dewasa itu selalu menjaga aturan dan kesopanan dalam berperilaku dan berkelakuan.

Hm.

Lalu, masih dari tweet #selintas: semakin dewasa. semakin sok tahu. padahal menerbangkan balon di jalan-jalan pun keindahan. butuh pengetahuan.

Jujurlah, kau pasti pernah bertemu dengan orang ini? atau mungkin orang itu adalah kau?

Kalau saat ini ada yang bertanya pada saya, lalu apa sebaiknya yang harus kau lakukan ketika menjadi dewasa.

Bertumbuhlah, tapi jangan dewasa.

Teruslah bermain seperti anak-anak.

Teruslah bermimpi, salah satu mimpi saya yaitu: Hei 2011, bawa saya ke Paris. Saya mau pakai gaun renda oranye. Terbangkan balon dengan kaki telanjang.

Saya mulai memejamkan mata. Dalam nama petrichor saya berdoa.

memanggilmu, Ilalang.

weheartit


Lalu, begini. Kini saya ada di belakang netbook ini dan menulis tentangmu. Saya harap kau tidak merasa keberatan dengan nama barumu dan semoga kau suka.

Ada cangkir berisi teh rasa lemon di depan saya dengan gula yang tidak saya aduk. Kenapa tidak diaduk? Saya malas mengaduknya? Biarkan ia larut sendiri. Sama seperti cinta, kadang kau harus biarkan cinta itu larut.

Lalu saat ini saya sudah larut ke dalam matamu yang hitam dan bibirmu yang tertawa. Saya begitu terbius dengan kata-kata dalam tulisan-tulisanmu, yang begitu indah. Apalagi ketika kau menggambarkan-- ah sudahlah.

Kau tahu saya suka hujan, lalu saya begitu tergila-gila denganmu-- Kau begitu memesona saya. Kau buat saya jatuh cinta lagi terhadap kehidupan, rasa ini membuat saya begitu sembuh --sembuh total.

Untuk menjalani kembali hari-hari saya. Entah kenapa saya merasa begitu tolol, saya tidak bisa memilikimu. Kau punya dia, kau mencintainya. Semoga ini tidak berlebihan.

Tapi tidak apa, saya mau mencinta. Dan kau tetaplah di sana, tetaplah dengan keberadaanmu, tetaplah seperti sedia kala, seperti sebelum saya menemukanmu di balik rumput hijau.

Lalu, saya memanggilmu ilalang. Kalau kau tanya? Kenapa saya memanggilmu ilalang. Karena kau tumbuh liar diantara rumput hijau.

Kau datang dengan liar lalu memesona. Begitu saja.

Friday, December 17, 2010

Day #30: Kupu

bangkai kupu
di dedaun
merah ungu
kibaskan sayap
patah, menuju
taman bunga
ilalang.
belum mati.

Thursday, December 16, 2010

Day #29: Pagi Rindu

gelisah--
pagi tak
menghembuskan
nafasmu,
ilalang.
bisu
di antara
denting
pepohonan.
rinduku
berhamburan
di dedaunan. 
berguguran
berhelai
ingin mengecup
matamu
yang sendu. 

Wednesday, December 15, 2010

Day #28: Sepanjang Jalan

kicauan di atas
langit kedinginan, daundaun
bergerak menggantung sepi,
ilalang sedang apa?
aku bertanya.

lalu deras kicau, menjadi
lirik pagi. hari bernyanyi,
berdengung panjang
sungai di pipi, kering
kali ini tak ada mata air.

berdiri tegak
antara rumput, demikianlah
aku mengenalmu, ilalang.
terbungkuk bungkuk dengan sopan
hendak ku petik, lalu
ku bawa pulang.

kecup aku sepanjang jalan.

Tuesday, December 14, 2010

Day #27: Jatuh?

bunyi tuts katakata
mati, mengetik
namanya tanpa henti
panggil ia: ilalang.
berayun
di langit, menyala
di tengah sore
memagut bibir
hari, tanpa ampun.
gigitlah kupukupukupu
yang muntah di perutku.

Monday, December 13, 2010

Day #26: 00:48

track ke-tiga
tanggal tiga belas
tape menyala
senyumsenyum
kecil, lampulampu
malam mengerjap
di kejauhan mata
ini terjaga. hei!
selamat pagi,
ilalang
bawa, ku terbang.
lalu bersama liarmu
rindukan aku.

Sunday, December 12, 2010

Friday, December 10, 2010

Day #23: Pojok Pulang

1

bertemu ilalang
di pojok pulang
merayap di kepala
tumbuh liar di ruasruas hati
menyala pada Desember
seperti pohon terang
ilalang, tenanglah.
menguninglah.
pelan pelan.

2

lalu, aku ini capung
meloncat kegirangan
pada lorong lorong tanah
ketika hujan reda
kalender rontok
hendak layu
sekian hari menunggu.

3

hujanku reda
ilalang, tenanglah
terbanglah.
menguninglah.

Thursday, December 9, 2010

Day #22: Lilin Kecil

sebatang lilin kecil
menyala pada puisi
membakar tanpa api
membangunkan orang orang mati

Wednesday, December 8, 2010

Day #21: Rindu

: mengenang Munir.

ketika hujan tua
sajaksajak tumpah
mari minum kata

malaikat bercinta
tuhan tuhan mabuk
meminum kematian

rindu ini pulang
kepada rumah pahlawan
: batu nisan

Tuesday, December 7, 2010

Day #20: Dongeng Natal

pintu pintu berkaca
riuh rusa rusa malam
aku mengintip palungan
ada herodes bersepatu santa
janggutnya meleleh di jerami
membakar mas kemenyan dan mur
Tuhanku dimana?
tak ada. Ia ditelan agama.

Monday, December 6, 2010

Day #19: Dan Aku Bukan Cinderella

dan aku bukan cinderella
aku babu bersepatukaca
aku suka berdiri di jendela
menyetubuhi sajaksajak telanjang
tak kenal detik dan waktu
pukul duabelas lewat
lipstikku masih menyala
putingku masih merekah.

Sunday, December 5, 2010

Day #18: Pada Suatu Ketika

sembunyi di balik awan
terbang tinggi bersama balonbalon hitam
bibir hujan terbuka sedikit
seperti ingin menangis
rumput rumput tak lagi berlompat
ketika cinta habis di tangan.

Saturday, December 4, 2010

Day #17: Mangkuk Hujan

seporsi hujan
untukmu kawan
yang kedinginan
di bawah awan
“bawalah pulang.”
simpanlah di lemari
‘tuk kakikaki yang menari
lelah merentang hari.

Friday, December 3, 2010

Day #16: Sajak Perempuan

1

perempuan menulis kerut
pada sajaksajak mungilnya
menggantungnya di kaca
menengoknya sehabis mandi
telanjang.
sajaksajak menyetubuhinya
setiap pagi.

2

bagian favorit dari tubuhku
itu selulit.
persis di bawah payudaraku
kau gigit setiap malam
sampai kau tertidur pulas.
paginya, di bibirmu ada puisi.
mau, bacakan untukku?

3

berbagi bibir di cangkir kopi
tak ada habisnya.
aku gigit bibirmu perlahan
supaya sajak tumpah darinya
lalu kuminum hasratmu
yang belum selesai di atas kasur.

Thursday, December 2, 2010

Day #15: Sepatu Santa

kutemukan katakata
di sepatu santa
kubuat pohonterang
sinari ruas ruas hatimu.
saatnya menggantung Tuhan
salib dan bintang
di atas dahandahan
siapa tahu kau rindu pulang
malam ini besok atau lusa
entah kapan
“aku tunggu?”

Wednesday, December 1, 2010

Tuesday, November 30, 2010

Day #13: Perempuan Kosong

perempuan kosong
mengutuki malam
dengungkan nyanyian hujan
dengan mulut berbisa
komatkamit seribu mantra
sajak sajak lapuk hempas
dari jantungnya yang pilu, bunyinya:
"bulan berdarah
di kaca langit
bintang bintang pecah
menjadi beling menusuk kaki kaki telanjang."

Monday, November 29, 2010

Day #12: Sajak Sunyi

rokokku habis tuan
tapi ceritaku belum
yuk, pulanglah denganku!
pungutilah huruf di tubuhku
kulum mereka satu satu
selipkanlah sedikit nasihat
di balik rokku yang mini
mainkanlah tanganmu
sedikit lagi tuan,
rabalah sajak sajak sunyi itu.

Sunday, November 28, 2010

Day #11: Doa di atas Dermaga

pelabuhan pekat
senja mengapung
di atas perahu
tali tali kapal
dan bau asin
yang menempel di bibir
“sini, dekat. cumbu aku
cumbu lukaku.”
lalu, aku menjilati
tiap bau asin luka.
“cepatlah sembuh. cepatlah berlalu
November kelabu.”

Saturday, November 27, 2010

Day #10: Kenangan

pahit pecah
bagai tirai
pada jendela jendela
kota tua.
menghimpit sepi
larut bersama hujan
limbung bersama gundukan tanah
kembali kepada genangan.
“akulah kenangan”
yang basah di pipimu
bertahuntahun lalu
yang pernah kau setubuhi dengan
seribu belati.

Friday, November 26, 2010

Thursday, November 25, 2010

Day #8: Kisah Langit yang Kosong

tibatiba aku hendak muntah
muntahkan sajak bernanah
ke dalam langit yang kosong
biarkan ia menjadi sekalimat pecut
yang lalu dibumbui airmata.
disana akan ada pahit merajalela
dan purnama menjadi limbah.
kan kuiris bintangbintang menjadi nista
supaya kau tahu:
"jatuhcinta itu, berani luka?"

Wednesday, November 24, 2010

Day #7: Mimpi

1

aku bercerita dengan guntur yang keriput
dan petir yang ubanan
hujan tua yang batuk di pojokan
berjalan terbungkukbungkuk
tentang mimpi.
mimpi yang akan bawa aku duduk di angkasa
terbang bersama awan.
“kelak tulisan tulisanku akan menghidupiku.”
bukan hanya itu,
“kelak tulisan tulisanku akan melukaimu.”


2

tahu apa kau soal mimpi?
kau hanya tahu telanjang
dan membodohi diri.
hujan di kasurmu
selalu kau sesali
aku tidak akan menikahi
pria yang mimpinya mandul di celana.

3

berbahagialah.
ia pilihan atau bukan pilihan
langitku sudah terlanjur ungu
mimpiku,
“kelak kau akan tenggelam, menjadi genangan
di bawah parit yang paling dalam,
bermimpilah bersama selokan.”

Tuesday, November 23, 2010

Day #6: Bangkai Hujan

petirnya berwarna hitam,
menetes perlahan ke jantungku yang memburu
menikam detakku satusatu.
meremas susuku,
menjalarinya dengan ulat dan semut merah.
lalu, kau tak mau mengaku?
hei kau pecundang, bermulut seribu.
pagi ini selesai bercinta
aku menemukan bangkai hujan
di celana dalammu
aku tak marah kau meniduri hujan
tapi sisakan untukku, tuan!

Monday, November 22, 2010

Day #5: Rindu yang Mengetuk

perkenalkan aku rindu
dan kau pintu
sepanjang hari aku berdiri di sini, mengetuk
helai air mata di pipiku tak lagi mekar
mereka ramai digerogoti ulat.
aku rindu dan kau pintu
aku mendentumkan kepalaku ke dindingdinding,
supaya bunyinya sampai ke hatimu.
semakin hari bunyinya semakin lelah
lalu aku pun padam
padahal aku rindu pulang
pada pintumu yang terkunci.

Sunday, November 21, 2010

Day #4: Sumiati

untukmu perempuan yang bernama Sumiati
tanganmu dua, tapi tak bisa melawan
kakimu dua, mau lari kemana
tapi mulutmu ada di segala penjuru
dukamu ada di jiwa kami
bukan pemimpin kami.
setrikalah kembali tangismu yang kusut
guntinglah mendung di wajahmu
menjadi lipatanlipatan pelangi
teruslah berdoa kepada mereka yang sudah lalai hati
berkatilah mereka!
supaya kelak bangkai mereka tidak diendusi babi.

Saturday, November 20, 2010

Day #3: Lelaki

lelaki,
aku rindu senggama
di hatimu yang tak bernama
aku ingin susuri
jalan buntu di tubuhmu
tanpa permisi
tanpa kompas sama sekali
aku ingin berteduh
di malammalam sepi
terkunci dalam degupmu yang sunyi
tak ingin ada pagi
biarkan aku matisuri
di dalam taman surgawi
; selangkanganmu.

Friday, November 19, 2010

Day #2: Mencari Kekasih

aku ini berlari
mencari kekasihku di awan
diantara bulir hujan
juga mendungnya bintang

hei itu dia!
persis di atas kepala
kekasihku sedang merekah
ia mengenakan gaun merah

siapakah itu di sampingnya
seorang perempuan jelita
lalu aku patah
hancur bagai remah
--- tenggelam

Thursday, November 18, 2010

Day #1: Ketika Waktuku Sudah Habis Untuk Mencinta

ketika waktuku sudah habis untuk mencinta
hujan pun berubah warna
kini ia ungu, patah diantara ranting
layu diantara kuncup
ujungujung kakinya mekar di tanah tandus
tinggal pagi ditemani abu rokok dan gelas bir
hatiku pecah, aku meminumnya.

Wednesday, November 17, 2010

Semut Memikul Bangkai




Saya tidak suka mandi. Tetapi ketika saya harus mandi, selalu ada pemandangan yang membuat saya jatuh cinta. Saya suka melihat semut-semut yang berbaris di dinding. Tentu saja ini bukan lagunya Obbie Mesakh.

Menurut saya semut itu adalah binatang yang hangat. Lihat saja setiap kali mereka bertemu. Mereka saling berciuman. Ya, mereka tidak hanya menempelkan muka dengan muka. Mereka berciuman di bibir.

Selain itu mereka suka berbaris teratur. Mengikuti yang di depannya. Kadang mereka pulang, kadang mereka singgah, kadang mereka duduk-duduk. Saya ingin sekali diajak ke rumah semut. Saya ingin sekali menjadi anggota keluarga mereka.

Saya selalu penasaran, mereka bercerita atau bergosip apa hari ini? apa mereka juga tahu kalau Tifatul Sembiring begitu dibenci di twitter. Atau apa mereka juga mengerti kalau hari ini infotainment sibuk memberitakan Arumi Bahcsin.

Tapi hari ini mereka banyak diam. Saya masih duduk di atas closet. Telanjang. Dan memperhatikan mereka dalam diam. Mendadak saya mengerti satu hal, hari ini semut-semut itu agak diam. Mereka tidak banyak bicara, mereka bahkan saling berbisik-bisik.

Saya mulai pasang telinga. Saya bahkan tidak sadar kalau saya semakin menundukan badan saya supaya bisa mendengar dengan jelas, apa sebenarnya yang sedang mereka bisikan. Tapi ternyata mereka juga tidak sedang bisik-bisik.

Hari ini semut-semut itu bisu. Mereka bahkan sedang memikul sesuatu, bangkai matahari? Ya. Matahari itu tampak kaku di atas kepala mereka. Tak ada sinar. Redup. Badannya yang biasanya bersinar, mendadak pucat berwarna putih.

Saya mundur pelan-pelan. Semut yang malang pikir saya. Pantas saja di luar mendung sangat. Semut-semut itu tidak banyak bicara. Mereka terus berjalan dalam diam, memikul bangkai.

Hari ini, ada satu hal yang saya pelajari dari semut:  semut itu binatang yang lemah, tapi mereka berani. Kau belum jadi pemimpin, sebelum kau belajar memikul bangkai.

Tuesday, November 16, 2010

Kalau Hujan




kalauhujan reda. aku belum reda mencinta
kalauhujan itu telinga. terima kasih selalu mendengarkan curhatku
kalauhujan itu pengantin. aku sedang menunggu di bangku renta
kalauhujan itu salju. aku mau berselancar diatasnya
kalauhujan itu rambut. ada cinta di setiap helai keritingku
kalauhujan itu helaan. setiap helaan nafasku artinya cinta
kalauhujan itu bibir. rajin sekali ia mengecup, dari pelipis sampai ke ...
kalauhujan itu kain. aku ingin merajut namamu diatasnya. dengan benang warna-warni
kalauhujan itu kata. aku bisu saja tuk bilang cinta. derasnya sudah jadi tanda
kalauhujan itu rindu. ada tetes di bibirmu. rindu kecupmu
kalauhujan itu aku. ada bocor di kamarmu, jangan dipel
kalauhujan itu aku. ada embun di kamarmu, jangan dihapus
kalauhujan itu bintik cinta. ia akan menjadi jerawat di hatimu. kanker di hatimu

***

Tulisan ini sebelumnya di posting di akun twitter saya. Hei, kau tahu kan saya ini perempuan yang tergila-gila pada hujan? hujan adalah saat untuk saya memungut setiap kata pada tetesnya.

Halte



Saya selalu menyukai halte. Saya menyukai konsep menunggu, singgah sebentar, berangkat lagi. Ada aktivitas yang dilakukan di tempat kecil seperti halte. Kadang selewat, tapi halte bagi saya mengandung filosofi tertentu.

Saya tidak suka malam minggu. Saya tidak terlalu suka dengan keriuhan yang biasanya terjadi di malam minggu. Tapi malam minggu lalu, saya memutuskan untuk berjalan sendiri. Berjalan kaki itu selalu menguntungkan. Berjalan kaki juga biasanya membantu saya bercakap dengan diri sendiri.

Dan malam minggu itu, saya berjalan di sekitar halte yang terletak di daerah Sukajadi. Halte yang manis pikir saya, dari kejauhan halte itu menyapa saya. Ia menarik pantat saya untuk duduk diatasnya. Tempat duduknya terbuat dari batu-batu kerikil kecil. Dan tiang-tiang penyangganya tampak masih rapih dengan cat yang masih baru.

Saya memutuskan untuk duduk sebentar di halte itu. Melihat beberapa aktivitas angkot yang lewat. Mengamati orang yang turun naik dari angkot. Melihata perempuan di sebelah saya yang sedang melamun. Dan Pak polisi dengan mobilnya di seberang jalan.

Sembari duduk, saya membayangkan kalau halte itu adalah hati. Sepanjang hidupmu kau banyak menunggu, ada orang yang keluar masuk, singgah sebentar, duduk-duduk, mengamati, kadang melamun, dan kemudian berangkat lagi.

Setiap orang yang duduk di halte, belum tentu punya tujuan. Tapi ada juga yang sudah mempunyai tujuan. Atau ada juga yang hanya kepingin duduk, seperti saya juga waktu itu.

Begitupun dengan hati, kadang ada yang mampir di hatimu, tanpa tujuan. Atau kadang justru mereka punya banyak tujuan.

Saya tidak terlalu peduli. Yang penting sore itu hati saya lega, walau mata saya basah. Tulisan ini mau saya dedikasikan kepada sedan putih dengan plat nomor sekian yang waktu itu lewat ketika saya duduk di halte.

Mereka seperti menyuruh saya untuk melepaskan. Begitupun hati, kadang kau harus belajar untuk melepaskan.

Friday, November 12, 2010

Heineken

Saya dengan pikiran dungu.

Saya masih suka memandang ke dinding dan menunggu wajah Doda (teman kecil saya) muncul di sana. Dan yang paling saya sukai adalah pergi ke kamar mandi, duduk di atas kloset, untuk sekedar memungut kata dari kepala saya untuk dituliskan. 

Akun twitter dengan 140 karakter itu, begitu memicu pikiran dungu saya setiap saat. Mereka bergerak, memburu, loncat-loncat, hendak keluar menuju timeline. Tolong ini peringatan: follow saya, itu berarti kau follow pikiran dungu saya. segeralah unfollow sebelum kau ketagihan.

1. lalu hujan. mereka selalu datang beramai-ramai. di saat kau kesepian. mereka itu teman
2. belajarlah pada debu. ia mungkin remeh, selalu kau bersihkan. tapi dari situ kau ada
3. belajarlah hangat seperti semut. tiap kali bertemu sesamanya, mereka pasti saling mencium(i)
4. belajarlah pada anjing. karena mereka setia. kalau kau masih selingkuh. kau lebih rendah dari anjing.
5. kalau kau takut bau. belajarlah pada sepatu. ia mencintaimu. walau kakimu bau.
6. belajarlah pada kecoak. ia tak pernah mandi. tapi tubuhnya selalu mengkilap.
7. tak usah ke gereja. cukup ke kloset saja. tutuplah pintunya rapat-rapat. berdoa.
8. kalau anda laki-laki. genggamlah buah pelirmu erat. karena di situ kepercayaan ada. dan kalau anda perempuan. berbicaralah hanya dengan satu mulut.
9. mendengarkan itu bukan hanya dengan kuping, tapi juga dengan hati.

Saya dan pikiran dungu akan selalu hidup untuk menghantuimu. Mereka seperti,



Jangan banyak-banyak, nanti kau mabuk.

Wednesday, November 10, 2010

I Love My Job. I Always Do




Ini beberapa list, kesuksesan seorang penyiar versi saya:

1. JELAS bukan materi. Sama sekali tak ada hubungannya dengan uang.

2. Lo punya fans FREAK. Sudah setahun ini menjadi stalker. Kirim sms, komentarin blog, bikin YM khusus buat lo, kirimin lo puisi.

3. Ketika ada pendengar iseng ngajakin e*e (ini brengsek, tapi bukankah itu bukti kalau lo bikin mereka sakaw).

4. Ketika lo selalu di tunggu-tunggu. Oleh pendengar baik-baik, sampai pendengar freak sekalipun.

5. BUKAN karena gajinya. Tapi bukankah menghibur orang lain itu UPAH-nya lebih besar.

6. BUKAN karena terkenal (nya) tapi karena pekerjaan (yang tampak sepele) ini lo dicintai.

7. Ketika ada yang bilang "Terima kasih ya, sudah nemenin" atau "Gue suka deh playlist lo hari ini."

8. Lo dianterin coklat ketika lo siaran.

9. Ketika lo ulang tahun, dapat sms di on air. Dan se-kota ngerayain ulang tahun lo.

10. Ketika lo pulang ke kos dan lo menemukan ada balon bentuk hati diikat di depan kamar kos lo.

11. Ketika ada pendengar sengaja masakin opor ayam buat lo. Nasinya dibungkus pake daun pisang bentuk hati.

Satu hal yang gue sadari kenapa orang-orang masih bertahan di radio: karena mereka CINTA sama pekerjaan mereka. Gue cinta pekerjaan gue. Gue cinta kehidupan gue dan itu bikin orang lain iri. Sampai mereka mau meng-copy kehidupan gue. Sampai mereka berlomba-lomba kepingin seperti gue. Poor them. Pesan gue: jangan pernah membandingkan diri lo dengan orang lain.

***

Ya, tulisan ini juga diambil dari akun twitter saya. Tulisan ini dibuat bukan karena saya sudah sukses menjadi penyiar, tapi karena saya jatuh cinta dengan pekerjaan saya. Kalau dibaca, mungkin kesan yang kau dapatkan adalah saya sedikit agresif dan liar. Betul, itu saya. Jangan pernah kenal saya secara pribadi, karena kau akan iri melihat betapa saya mencintai kehidupan saya.

Kalau kau mengaku jatuh cinta (juga) dengan pekerjaan atau hidupmu. Seharusnya kau juga bisa menulis hal yang sama, bahkan lebih dari apa yang saya tulis. 

Renungan Hati




Belum mengampuni sama seperti jatuh cinta. Dimana-mana ada dia dia dan dia lagi. Termasuk pas buka mata hari ini.

Kalau hati tak cukup melar untuk mencinta. Mending simpan lagi ke dalam kardus. Terus fungsi hati apa?

Ya, tak ada fungsi apa-apa. Biarkan saja hati di dalam kardus. Belajar melihat dan merasa dalam kegelapan.

Sesekali, hati perlu tinggal dalam kegelapan. Supaya ia tahu kondisi terang itu seperti apa. Dan dia akan memilih.

Memilih untuk terus di dalam gelap. Atau mencari terang.

Tapi kalau hatimu sedang betah di kardus, suka sama gelap. Ya, biarin saja. Hati itu cerdas, ia belajar.

Hati yang cerdas itu tak takut sama gelap. Hati yang cerdas itu tak takut bergaul dengan dingin.

Hati yang cerdas mencium luka dan mengampuni.

Hati yang cerdas meminum lukanya berlimpah-limpah. Menyicip darahnya sendiri. Membalutnya teratur.

Hati yang cerdas tidak perlu buru-buru menjadi sembuh. Karena ia menghargai proses.

***

Tulisan ini dari akun twitter saya beberapa jam yang lalu. Tulisan ini hadir dari pikiran dungu saya. Pesan saya: cintailah pikiran dungu. Bukan pria dungu.

Tuesday, November 9, 2010

Sepatu Converse

Di luar gerimis tipis-tipis. Aku di balik netbook menulis. Aku tak tahu harus menulis apa. Tanganku menari saja. Kupingku mendengarkan bunyi tuts netbook yang menurutku itu sexy. Sambil sayup-sayup ada Kings Of Convenience bernyanyi menemaniku.

Lalu aku ini mulai mengetik sebuah nama. Nama yang dulu pernah ada bertahun-tahun di hati. Nama yang tidak perlu aku sebutkan siapa. Nama itu begitu istimewa. Tidak tergantikan oleh siapapun.

Terserah, setelah kau baca tulisan ini. Kau akan bilang aku berlebihan atau apa. Aku tidak peduli. Aku ini adalah gadis berponi yang rajin menyimpan hatiku di dalam kardus. Tiap pagi aku rajin mengunjunginya. Aku rajin membersihkan hatiku dari debu. Sesekali mengangin-anginkannya. Dan menjemurnya kalau hatiku sudah mulai lapuk.

Kau tahu di hatiku ada sebuah nama. Ia pria bersepatu converse yang membuat aku jatuh cinta. Aku mengenalnya di hujan pertama di bulan Agustus. Waktu itu aku adalah gadis berponi yang begitu polos dan lugu.

Dan kau adalah pria bersepatu converse yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Kita bercerita di bawah hujan layu. Bunga-bunga hujan berjatuhan di atas kepala kita. Mendengarkan ceritamu selalu membuat aku betah. Aku suka.

Kalender berganti. Tahun-tahun itu sudah rontok.

Lalu hari ini, aku kembali mengunjungi hatiku. Ya, aku masih menyimpannya di dalam kardus. Hatiku begitu dingin dan lapuk. Ada namamu sudah mulai mengelupas di tengah-tengahnya. 




Itu namamu. Hei kau, pria brengsek bersepatu converse. Apa kabar?

Monday, November 8, 2010

Pelacur yang Buta Aksara

 


Aku ini buta aksara. Tolong jangan ajarkan aku membaca. Aku ingin terus buta. Karena di dalam cinta tidak ada artinya melihat. Mereka hanya merasa. Tak perlu kau tahu ini kalimat apa. Tak perlu kau kenal arti cinta itu apa.

Aku ini tersesat. Aku ingin pulang ke dalam pelukan. Tidur di antara bunyi jantungmu. Ngiler di perutmu yang keroncongan. Aku ingin meraba setrum yang pernah ada antara kita. Perasaan melayang yang selalu ada ketika kita bercinta.

Sayang, kau itu pelupa.

Aku tidak pernah bilang bahwa aku akan setia. Aku ini milik semua. Benar, aku akan setia kepada hatiku untukmu. Tapi tidak dengan tubuhku. Tubuhku milik pria-pria yang kehausan di luar sana. Pria-pria yang selalu menginginkan payudaraku yang menyembul.

Tapi untuk urusan hati, kaulah pangerannya. Kaulah pemenangnya.

Aku tidak pernah minta apa-apa. Aku hanya ingin kau memilih jalan yang tepat. Biarkan aku begini, biarkan aku memilih jalan ini. Biarkan tubuhku yang menjadi rebutan. Tapi aku berani janji, hatiku tidak.

Ini caraku bertahan melawan kerasnya hidup. Ini caraku berdiri menjadi seorang perempuan. Ini caraku mempertahankan harga diriku sebagai seorang pelacur. Bahwa sebagai pelacur aku juga layak untuk dicintai.

Terlalu banyak pria yang menginginkanku untuk kepuasan buah pelirnya. Dan hanya kau yang mendapatkan hatiku.

Harusnya kau bangga. Bukankah itu cinta?

Thursday, November 4, 2010

Tidak Kali Ini




Aku suka hujan. Tapi tidak kali ini. Aku benci hujan. Aku menyumpahnya dalam-dalam. Kenapa ia harus turun ketika kau tidak di sini. Kau tidak duduk lagi di bawah gorden tua itu. Padahal biasanya kau ada di sana dengan sweter motif kotak-kotakmu.

Kita akan mulai menatap hujan. Kaki-kaki mungilnya menyentuh jendela. Mata beningnya dengan bulu mata panjang. Lalu dress-mini-nya yang berwarna-warni. Ya, kita berdua suka tertawa-tertawa sendiri kalau sudah begitu.

tak ada lagi cinta sayang.
mereka telah habis ditiduri rayap dan penat
lalu senyummu mulai patah di dedaunan.
lunglai di rerantingan

Biasanya setelah itu kita duduk-duduk sampai pagi. Aku membuatkanmu secangkir teh tubruk panas. Kau selalu punya banyak cerita. Aku punya telinga. Kau selalu punya keluh. Aku punya peluk. Kau punya cinta, mungkin tidak banyak. Tapi aku punya hati sangat besar untukmu.

Haha. Ini bukan tulisan gombal. Aku serius. Sini, lekatkan kupingmu di antara denyutan nadiku. Kau bisa mendengarkan mereka dengan sempurna. Bahkan denyut nadiku menyebutkan namamu.

“Kau itu perempuan gombal.”

“Tapi kau suka, aku gombali.” Balasku dengan senyum dikulum.

“Janji, hanya aku yang kau gombali?”

“Hmm. Tergantung sih.” Aku masih menggodanya.

“Kelak, kau akan besar. Kelak aku mungkin tidak bisa duduk berdua lagi denganmu seperti ini.”

“Begitu. Kita masih bisa bertemu. Hubungi aku, aku akan meninggalkan semuanya demi dirimu.”

“Tuh, kan digombali lagi.”

***

terbawa angin sendu
aku tak ingin menangis (lagi)
biarkan air mataku sembunyi
mendungnya tergenangi 


Aku suka hujan. Tapi tidak kali ini. 


Friday, October 29, 2010

Kuning

Beberapa hari yang lalu saya duduk di angkot dengan perasaan campur aduk. Saya selalu percaya angkot itu adalah telinga Tuhan. TelingaNya bisa mendengar bahkan ketika kau diam. Entahlah, Tuhan itu begitu canggih. 

Dengan perasaan campur aduk dan air mata di pelupuk. Saya mau dipeluk. Saya mau dinyanyikan sesuatu. Saya mau ada yang menyanyikan sesuatu di telinga saya. Mungkin dengan begitu hati saya lebih tenang. 

Tidak ada seorangpun. Saya di angkot itu seorang diri. Saya duduk di pojokan memandang sambil lalu keluar. Hanya ada pohon-pohon bergoyang. Mereka seperti berusaha menghibur. Ada debu di kaca angkot, hendak melucu. 

Bibir saya tidak bergerak. 

Sampai akhirnya dari arah tape angkot. Ada intro. Intro lagu ini. Tuhan betul-betul mengirimkan seorang pria ganteng. Musisi sexy. Chris Martin. Tidak peduli ia sudah punya istri. Untuk bernyanyi kepada saya. 

Chris Martin duduk di sebelah saya. Jeansnya belel. Sepatunya agak kecoklatan. Memakai jaket kulit hitam. Mulut saya menganga tidak percaya. Pelan-pelan air mata saya jatuh. Masih tetap tidak percaya. 

D’you know. You know I love you so. You Know I love you so.

Chris terus bernyanyi. “It’s true. Look how they shine for you. Look how they shine for you. Look how they shine for you.” Tak ada bintang di langit Chris, hampir saja kalimat itu keluar dari mulut saya. Tetapi genggaman Chris terlalu erat. Membuat saya tak mampu berkata-kata. Diam-diam Chris Marthin memeluk saya dari belakang. 

Ia berbisik lagi di telinga saya. “Look at the stars. Look how they shine for you. In everything you do.” Terngiang-ngiang terus memenuhi angkot. 

Sejenak ada kelip bintang di matanya. Sinarnya begitu terang. Menembus hati saya yang sedang gelap.  Membuatnya kuning, sepanjang hari itu. Bahkan kalau Chris Martin tidak percaya Tuhan itu ada. Saya percaya Tuhan ada di dalam Chris Martin.



Terima kasih banyak Chris. Sun sayang untuk Gwyneth dan Apple.

Saya bahkan tak sempat mengucapkan itu.

Thursday, October 28, 2010

Gadis Hujan



Untuk kau yang sedang berlari di atas awan. Berlari dengan kaki-kaki mungilmu. Bersembunyi di balik gelapnya. Kau, gadis hujan. Kau yang rambutnya berponi dengan mata elang yang selalu melihatku tajam.

Kau yang halus seperti angin. Tidak terlihat tetapi selalu menusuk. Aku mencintaimu, gadis hujan. Tak usah dengarkan mereka. Mereka tidak mengerti cinta kita. Mereka itu dungu, selalu protes dengan kasih.

Bukankah, kasih selalu memberi.

Kini, gadis hujan, kau yang aku cintai diam-diam. Aku berikan cintaku padamu, kau berikan air matamu. Dan lihatlah, cinta kita tumbuh dengan subur bukan?

Ah, kau gadis hujan. Harusnya kita menikah. Aku suka pesta petang hari, di tepi pematang sawah. Di antara bulir-bulir padi. Dengan berkaki telanjang, seharusnya disitulah kita menyebutkan janji suci kita.

Setelah itu kita bulan madu. Di bawah laut yang paling biru. Kita belajar melayang di sana. Berteman dengan ubur-ubur, bercerita dan tertawa. Lalu kita terbang bersama burung-burung berbentuk V yang hendak pulang.

Hei, kita bisa pulang ke sangkar mereka. Dan bertelur di sana.

Telur kita lalu menjadi ilalang. Terbang.

Wednesday, October 27, 2010

Lagi

Tidak bisa tidur. Lalu tanganku menuju krusor dan mulai mengetik. Aku ingat dirimu, tadi ketika sedang di jalan. Tiba-tiba. Aku tidak suka dengan ingatan yang tiba-tiba. Raut mukamu sangat jelas. Tatapan matamu. 

Lalu ciuman itu.

Aku membayangkannya, sambil memejamkan mataku sebentar. Kau begitu dekat. Wangimu begitu lekat. Aku selalu menyukai parfummu. Parfum itu pernah menghantuiku di kamar beberapa waktu yang lalu.

Kata beberapa teman, itu artinya kau sedang kangen. Kangen padaku? Benarkah?

Lalu kemudian itu hanya menjadi cerita di hatiku. Kau tahu aku tidak terlalu suka membagi-bagi cerita cintaku kepada siapapun. Kau tahu kan aku selalu menyimpan ceritaku rapat-rapat.

Kalau cerita cinta itu ibarat kue, aku akan memakannya sendiri. Sembunyi-sembunyi. Aku akan menggitnya pelan-pelan, merasakan kenyalnya di sekitar gigiku, menelannya. Merasakan ia begitu lembut turun ke tenggorakanmu. Diam di dalam ususku. 

Terjerembab. Lama di sana. Cerita cintaku tidak akan keluar.

Kau tahu, berapa lama aku mencintaimu. Dua puluh empat jam. Detik demi detik. Dari hujan ke pelangi. Pelangi ke hujan lagi. Tidak atau lebih tepatnya, belum lelah. Suatu hari nanti aku (mungkin) akan lelah. Kalau hari itu telah datang aku tak akan bilang-bilang.

Cinta dan ceritanya itu selalu membuat aku mabuk. Aku mabuk tentangmu. Aku muntah tentangmu. Mabuk lagi tentangmu. Begitu saja. Biarkan berputar, aku suka perputaran ini. Perputaran yang selalu menyandu.

Hei, malam ini aku berdoa untukmu. Aku berdoa, supaya ketika kita berciuman lagi untuk kesekian kalinya. Entah..



Selalu ada wangi cinta di bibirku, yang membuatmu ingin menciumku lagi dan lagi.

Monday, October 25, 2010

Selamat Pagi




Pagi ini aku bangun dan melihat pucuk hujan di balik dedaunan. Kaukah itu di sana yang menghantuiku, wahai hujan. Setelah beberapa lama ini kita tidak bertemu, tampaknya kau luka. Ah bukan, kau terlalu rindu padaku sampai rindu itu melukaimu.

Jangan ngambek kalau rindu padaku. Tidakkah kau tahu, aku terlalu lama menanti di jendela. Aku duduk di sana sampai mengantuk. Menunggu kau lewat, hanya untuk sekedar berpelukan.

Dan sekarang ketika rindu itu melukaimu, kau terlalu banyak mengeluh. Kau bilang aku tak lagi cinta, kau bilang aku begini dan begitu. Kau bilang aku sudah punya orang lain. Kau bilang, ah sudahlah...

Jalanilah kehidupanmu sendiri hujan. Tetaplah jatuh, tetaplah rindu, tetaplah terluka. Karena kalau tidak ada luka, itu bukan cinta. Ya, akhirnya aku menyebutkannya. Aku terlalu lama menunggu dan kini waktuku telah habis.

Hei. Dan sekarang kau bilang “aku yang terluka.”

Sekali lagi aku ulangi hujan, tidak ada cinta yang tidak terluka. Tidak ada rindu yang tidak melukai. Mereka terlalu tajam seperti pisau, dapat membunuhmu.

Hujanilah aku dengan lukamu. Aku anggap itu ucapan "selamat pagi."

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...